*Mas
Hameed
Selama
ini, secara umum kita sering mendengar dari ceramah-ceramah agama maupun dari
beberapa tulisan bahwa Islam pertama kali mengajar kita untuk membaca. Hal itu
termaktub dalam surah Al-Alaq. Menurut lima ayat pertama firman Allah tersebut,
seorang muslim haruslah membaca dengan menyebut nama Tuhannya. Membaca disini, menurut para ahli tafsir,
tidaklah terbatas pada membaca rangkaian tulisan tetapi membaca alam dan
seluruh kejadian dan perihal yang ada di dalamnya.
Dalam
teks Al-Qur’an perintah menulis tidaklah ada kecuali menulis permasalahan
hutang piutang. Namun secara konteks dapat dipahami bahwa menulis merupakan suatu
“keharusan” dengan adanya perintah kewajiban untuk membaca. Lalu apa yang akan
dibaca, bagi kita yang tidak mampu membaca alam, kecuali dengan tulisan? Lagi
pula, dengan tulisan manusia mampu menyalurkan ide-idenya dan juga
ajaran-ajaran Islam secara jelas.
Tulisan
begitu berguna bagi kehidupan masyarakat. Mendominasi di setiap aktifitas
manusia dan dengan tulisanlah kita dapat mengenal Al-Qur’an dengan lebih jelas
dan mudah. Bayangkan jika Al-Qur’an disampaikan kepada kita hanya melalui
lesan, tentunya tidak semua dari kita mampu menerimanya secara penuh.
Dari
pengertian tersebut, menulis pun haruslah digalakkan dalam pengertian
diharuskan. Hal ini bukan semata terbatas hanya bagi kaum akademisi saja.
Karyawan, pedagang, ustadz bahkan ibu rumah tangga pun seharusnya dapat menulis
sebuah buku. Dengan begitu, buku-buku mengenai segala macam profesi dari sumber
ahlinya dapat dengan mudah kita temui dan dapatkan. Sehingga perkembangan ilmu
dan informatika secara merata dapat berkembang dengan baik.
Menulis
menjadi sebuah budaya bagi setiap orang memang bukanlah perkara gampang. Setiap
orang yang pernah mengenyam bangku sekolah, sebenarnya telah memiliki
pengetahuan tentang menulis. Namun kenyataanya pengetahuan saja belumlah cukup,
karena menulis juga menyangkut kebiasaan dan keterampilan. Sehingga harus
didukung oleh situasi dan kondisi yang memungkinkan setiap orang dapat menulis
serta bagaimana hal tersebut dapat dimulai sejak dini. Menulis juga layaknya
sebuah seni, dimana hal itu membutuhkan latihan dan kebiasaan.
Selain itu menulis bagi sebagian
orang juga merupakaan pekerjaan yang gampang dan menguntungkan. Menulis menjadi
suatu pekerjaan yang rutin dan menjadi sumber penghasilan. Bagi mereka kegiatan
menulis menjadi suatu perkerjaan yang penting dalam aktifitasnya sehari-hari.
Hampir semua kegiatan administrasi pun di lembaga pemerintah maupun swasta memerlukan
aktivitas menulis sebagai salah satu bentuk komunikasi antar personal.
Budaya
menulis dan Santri merupakan satu rangkaian yang tak dapat dipisahkan. Dari
sejak mereka belajar menulis huruf arab, hingga di setiap aktifias santri
selalu dituntut untuk dapat menulis, meringkas ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
Tidak sedikit yang pada awalnya santri menjadi ulama’ yang sangat disegani
karena tulisanya yang mampu menginspirasi serta memberikan ilmu pada setiap
orang. Sebut saja ulama-ulama besar sekaliber Imam As-Syafi’i, Imam Al-Ghazali,
Imam An-Nawawi dan sederetan ulama lain adalah para penulis ulung. Mereka
menulis begitu banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga harus diakui
bahwa ilmu pengetahuan agama yang berkembang hingga saat ini adalah warisan
yang mereka tinggalkan lewat tulisan-tulisan mereka.
Sejarah
mencatat bahwa kejayaan ilmu pengetahuan beberapa abad silam tidak terlepas
dari peran ulama-ulama saat itu yang konsen menulis. Mereka menulis apa saja
ilmu yang mereka miliki di kertas-kertas lalu menyebarkan untuk umat di seluruh
belahan dunia. Sehingga tidak mengherankan jika saat-saat itu diukir dengan
tinta emas dalam sejarah Islam sebagai era kebangkitan ilmu pengetahuan dunia
Islam.
Dalam
konteks kekinian, tradisi menulis Islam yang mulai meredup harus kembali
digalakkan. Khususnya oleh kalangan santri yang notabene lumbung ilmu
pengetahuan agama dan tulang punggung pembentukan moralitas dan akhlak anak
bangsa.
Para
ulama’ juga meninggalkan pesan-pesan yang membahas tentang bagaimana pentingnya
menulis. Seperti yang pernah disampaikan oleh Ulama terdahulu, Iman Syafi’i menyampaikan
bahwa “ikatlah ilmu dengan menulis”. Tidak semua apa yang kita dengar, lihat,
rasakan serta fikirkan dapat kita ingat selalu. Sehingga sangat perlu catatan
atau tulisan yang dapat mengingatkan kita saat diperlukan.
Imam
Ghozali juga pernah berpesan bawha “jika engkau bukan anak seorang raja, atau
anak seorang ulama’ maka menulislah”.
Tulisan
adalah segala sesuatu yang kita tulis, baik itu angka, huruf, atau simbol. Saat
ini tulisan telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.Karena salah
satu alat komunikasi yang telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu ialah
tulisan. Apalagi bagi seorang santri, tulisan adalah teman dalam mencari ilmu. Buktinya,
hal pertama yng harus kita kuasai adalah menulis dan membaca.
Menulis
juga dapat dikategorikan suatu Sedekah! Ya, menulis adalah sedekah. Karena dengan
menulis kita dapat berbagi kebahagiaan, suka cita, pengalaman dan cerita. Dengan
menulis kita dapat menyampaikan ajaran-ajaran Allah, seperti yang dilakukan
para ulama’-ulama’, juga dengan menulis kita dapat memberi pelajaran pada
generasi selanjutnya, sehingga diharapkan generasi selanjutnya dapat mengambil
pelajaran pada generasi sebelumnya.
Bukankah
dengan hal tersebut, kita terhitung bersedekah? “Tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah” begitulah sabda Nabi. Menulis menjadi lebih baik daripada sekedar membaca saja.
Berbagi ilmu, nasehat serta pengalaman sebagai bahan pembelajaran untuk orang
lain menjadi suatu amalan baik yang ternilai ibadah.
Seperti
yang sudah saya singgung di atas, santri memegang peran begitu besar bagi
persebaran ilmu pengetahuan serta informasi selama berabad-abad lamanya. Menulis
juga menjadi salah satu faktor penting untuk memelihari stabilitas keilmuan
dimasa yang akan datang. Sebab apabila ilmu yang dimiliki oleh seorang santri
atau ulama tidak diabadikan lewat tulisan maka kemunduran ilmu pengetahuan
dimasa yang akan datang adalah sebuah ancaman nyata. Betapa tidak, setelah
beliau wafat, ilmu yang dimiliki santri tersebut ikut terbawa bersama
kepergiannya menghadap sang pencipta.
Sangat jelas peran
dan tanggung jawab sebagai santri ataupun secara luas setiap orang untuk terus
menulis setiap ilmu yang dimilikinya. Sehingga budaya menulis bukan lagi hanya
sebagai harapan namun sudah mampu mengakar di setiap masyarakat. Dan kita
berharap dan berusaha semoga kedepan setiap santri dan seluruh umat benar-benar
memegang teguh budaya menulis dan membaca sebagai pembuka cakrawala masa depan
yang gemilang. Mari Menulis Kawan.
No comments:
Post a Comment