Lama sekali aku berdiam disini. Ruangan berangsur-angsur
sepi. Hanya karena termenung. Terus termenung. Pandanganku jauh kedepan,
menembus kaca buram jendela, melewati cemara-cemara yang tetap kukuh berdiri
meski tertimbun salju, menerobos deretan bangunan khas Eropa dan
gedung-gedung pencakar langit, jauh dan terus menjauh. Yah! Hatiku sedang
kelabu, seperti langit siang ini. Dan Kristal-kristal es terus berjatuhan tanpa
ampun menutupi daratan, membentuk seumpama permadani putih yang menghampar luas
tanpa ujung.
“I will be at the home tomorrow, Srikandi.” Lantang.
Aku tersentak seketika. Suara itu laksana gelombang
besar menghantam karang imajiku. Hancur berantakan.
“Hellena, come here moment…!”
Sambil terus pergi ia menjawab: “Sorry, I am so busy.
Bye!”
Menghilang dibalik pintu. Sesaat aku terpaku. Ku lihat
sekeliling, kelas telah sepi. Tinggal aku sendiri.
I will be at the home, ku ingat katanya. Mendadak
ingatanku melayang jauh ke rumah. Aku rindu pada semua yang ada di sana.
###
Srikandi, adalah nama yang dianugerahkan Emak padaku.
Bapakku hanya setuju. Barangkali, berharap aku perempuan pemberani dan perkasa
seperti dalam cerita. Padahal yang terjadi, aku seorang perempuan kurus dan
pemalu.
Bapakku seorang guru di sekolah SMP. Hari-harinya
diisi dengan mengabdi pada Negara demi mencerdaskan bangsa. Bagi kami, beliau
adalah profil seorang ayah yang baik. Selain sibuk dengan pekerjaannya, tugas
kepala rumah tanggapun tak pernah dilalaikannya. Misalnya dalam mendidik dan
memperhatikan kami, anak-anaknya.
“Jadilah anak solehah yang bias membanggakan orang
tua.” Demikian beliau sering berpesan padaku, anak pertamanya.
Sampai beranjak dewasa, setelah genapnya umurku yang
ke empat belas tahun ini masih terkenang jelas dalam memori otakku. Bahkan,
kusimpan rapat-rapat dalam hati sanubari. Sehingga bagaimanapun, dalam hal
apapun aku tetap berbuat yang terbaik untuk mereka. Tak ada alas an untuk aku
mengecewakannya, apalagi sampai melukai hatinya.
Namun tak pernah kami sangka, secepat itu takdir
memaksa kami untuk hidup tanpanya. Diusianya yang ke-42, tanpa penyakit dan
datangnya marabahaya, tiba-tiba ajal menjemputnya. Beliau pergi dari kehidupan
kami, selamanya, meninggalkan istri dan tiga anaknya. Beberapa saksi melihat
ibu menangis tersedu-sedu disisi jenazah bapak, seperti anak kecil kehilangan
mainan, seolah tak merelakannya. Tuhan Yang Mahakuasa rupanya member cobaan
berat pada kami.
Bapakku yang seumpama kapten gugur, meninggalkan para
anggotanya, Emakku sebagai istrinya harus siap menjadi kepala keluarga. Mau
tidak mau tugas berat kepala rumah tangga diambil alih Emak. Beliau yang dulu
hanya seorang ibu rumah tangga, kini menjadi pedagang sayur keliling kampong
dan buka warung kecil-kecilan. Demi anak-anaknya, kerja seharian penuh, bangun
pukul tiga dinihari hingga petang tak jadi masalah. Ibarat kata, demi kami
darah dan air mata beliau korbankan. Itulah Emak. Pantas aku berbangga padanya.
###
Hari yang ku tunggu tiba. Detik waktu seolah melaju
cepat laksana pesawat tempur. Tanpa terasa diusiaku yang hampir genap enam
belas telah lulus SMP.
Terhitung empat bulan Emak ditinggal almarhum Bapak.
Beliau kurus dan tampak tua. Di wajahnya bermunculan goretan-goretan tanda
penuaan. Serta rambutnya yang panjang sudah tumbuh uban. Aku tak sampai hati
membayangkan Emak harus terus bekerja keras demi menghidupi kami, membiayai
sekolah kami. Cukup Emak lelah mengurusi kami sejak kecil, asal jangan terus
kelelahan bekerja keras hingga setua ini. Maka, pada satu kesempatan aku bicara
padanya:
“Mak, Sri mau bekerja. Sudah waktunya. Mak istirahat
saja bila perlu…”
Beliau tersenyum
padaku, entah apa maknanya.
“Tak perlu. Kamu sekolah saja yang rajin, jika perlu
sampai sarjana. Mak masih kuat. Masih sanggup…” Jawabnya kalem. Tersenyum
padaku.
Ibuku, memang perempuan perkasa. Aku sangat bangga.
Namun, jujur, tetap aku tak sampai hati. Sungguh. Sehingga aku ngotot, dengan
dalih”
“…Srikandi hanya seorang perempuan, dan perempuan pada
akhirnya menjadi istri,…melayani seorang seorang suami di rumah…”
Mendengar kata-kataku mendadak raut wajah Emak berubah
merah. Merah sekali. Tapi diam sembari menatapku tajam. Rupanya ada yang salah
dengan ucapanku. Dan aku takut. Takut dimarahi. Beberapa detik kemudian beliau
berucap lirih, berat:
“Srikandi, tak sadarkah kamu?! Pandanglah baik-baik
Emak!” diam sesaat. Matanya berkaca-kaca.
“Mungkin saja suatu hari nanti, setelah kau
berkeluarga, lalu kamu ditinggal suamimu karena cerai atau meninggal dunia. Maka
kamu menjadi kepala keluarga bagi anak-anakmu… harus bisa menafkahi mereka…”
Aku diam mematung seperti malin kundang kena kutuk
ibunya.
“Itulah alasan Emak menginginkan kamu sekolah setinggi-tingginya,
agar kamu bisa bekerja… tidak hidup susah seperti Emak…” Lanjutnya.
Kulihat pipi Emak basah, berlumuran air mata, seperti
pipiku. Aku tersadar. Segalanya tersingkap jelas. Emakku yang pendiam, yang
selalu tersenyum untukku, yang hanya lulusan SD, ternyata lebih mengerti dan
peduli dari yang ku bayangkan.
Lekas ku dekap tubuh hangatnya. Ku remas baju
kebayanya. Tiba-tiba kedamaian menjalar ke seluruh tubuhku.
###
Jauh. Jauh sekali dari tanah kelahiranku. Di sini aku
merindukannya, orang paling ku cintai dan ku banggakan yang pernah hidup
bersamaku. Emak, dua tahun jauh darimu, tak pernah memandang senyummu, seperti berabad.
Aku rindu sekali. Seperti ladang pada hujan dimusim kemarau. Di bawah langit
kelabu kota Amsterdam ingin ku tulis surat padanya, berharap rinduku terobati.
Assalamu
alaikum Wr.Wb.
Bagaimana
kabar Emak dan adik-adik di rumah? Semoga sehat wal afiat dan selalu dalam
lindungannya. Begitupun Srikandi di sini.
Pasti Emak
senang dan tersenyum saat membaca surat ini. Begitupun Sri saat menulis surat
ini. Srikandi rindu sekali , ingin memeluk dan memandang wajah Emak dan
adik-adik. Semoga saja Tuhan cepat mengabulkannya. Dan kita bias bersama lagi.
Emak! Berkat
do’a Emak semester kali ini Srikandi mendapat nilai tertinggi di kampus. Dan
Srikandi akan terus berusaha, belajar sungguh-sungguh agar terus berprestasi.
Sri tak akan mengecewakan Emak.
Oh, ya!
Bagaimana dengan adik-adik? Tolong sampaikan pada mereka: belajar yang rajin
agar bias dapat beasiswa ke luar negeri seperti kak Sri!
Terakhir.
Jaga kesehatan Emak dan adik-adik. Jangan khawatirkan Srikandi di sini,
pokoknya baik-baik saja. Dan semoga Tuhan selalu cepat mengabulkan do’a kita.
Wassalamu
alaikum Wr.Wb.
Saltu terus berjatuhan dari langit. Ruang kelas sunyi
sepi. Ku tengok jam dinding. Pukul 3 sore. Buru-buru ku bereskan barang-barang
ke dalam tas. Lalu segera meninggalkan kelas.
###
ajiiiibbb
ReplyDelete