Thursday, December 10, 2015

SANTRI; AKAR BUDAYA MENULIS





*Mas Hameed

Selama ini, secara umum kita sering mendengar dari ceramah-ceramah agama maupun dari beberapa tulisan bahwa Islam pertama kali mengajar kita untuk membaca. Hal itu termaktub dalam surah Al-Alaq. Menurut lima ayat pertama firman Allah tersebut, seorang muslim haruslah membaca dengan menyebut nama Tuhannya.  Membaca disini, menurut para ahli tafsir, tidaklah terbatas pada membaca rangkaian tulisan tetapi membaca alam dan seluruh kejadian dan perihal yang ada di dalamnya.

Dalam teks Al-Qur’an perintah menulis tidaklah ada kecuali menulis permasalahan hutang piutang. Namun secara konteks dapat dipahami bahwa menulis merupakan suatu “keharusan” dengan adanya perintah kewajiban untuk membaca. Lalu apa yang akan dibaca, bagi kita yang tidak mampu membaca alam, kecuali dengan tulisan? Lagi pula, dengan tulisan manusia mampu menyalurkan ide-idenya dan juga ajaran-ajaran Islam secara jelas.
Tulisan begitu berguna bagi kehidupan masyarakat. Mendominasi di setiap aktifitas manusia dan dengan tulisanlah kita dapat mengenal Al-Qur’an dengan lebih jelas dan mudah. Bayangkan jika Al-Qur’an disampaikan kepada kita hanya melalui lesan, tentunya tidak semua dari kita mampu menerimanya secara penuh.
Dari pengertian tersebut, menulis pun haruslah digalakkan dalam pengertian diharuskan. Hal ini bukan semata terbatas hanya bagi kaum akademisi saja. Karyawan, pedagang, ustadz bahkan ibu rumah tangga pun seharusnya dapat menulis sebuah buku. Dengan begitu, buku-buku mengenai segala macam profesi dari sumber ahlinya dapat dengan mudah kita temui dan dapatkan. Sehingga perkembangan ilmu dan informatika secara merata dapat berkembang dengan baik.
Menulis menjadi sebuah budaya bagi setiap orang memang bukanlah perkara gampang. Setiap orang yang pernah mengenyam bangku sekolah, sebenarnya telah memiliki pengetahuan tentang menulis. Namun kenyataanya pengetahuan saja belumlah cukup, karena menulis juga menyangkut kebiasaan dan keterampilan. Sehingga harus didukung oleh situasi dan kondisi yang memungkinkan setiap orang dapat menulis serta bagaimana hal tersebut dapat dimulai sejak dini. Menulis juga layaknya sebuah seni, dimana hal itu membutuhkan latihan dan kebiasaan.
Selain itu menulis bagi sebagian orang juga merupakaan pekerjaan yang gampang dan menguntungkan. Menulis menjadi suatu pekerjaan yang rutin dan menjadi sumber penghasilan. Bagi mereka kegiatan menulis menjadi suatu perkerjaan yang penting dalam aktifitasnya sehari-hari. Hampir semua kegiatan administrasi pun di lembaga pemerintah maupun swasta memerlukan aktivitas menulis sebagai salah satu bentuk komunikasi antar personal.

Budaya menulis dan Santri merupakan satu rangkaian yang tak dapat dipisahkan. Dari sejak mereka belajar menulis huruf arab, hingga di setiap aktifias santri selalu dituntut untuk dapat menulis, meringkas ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Tidak sedikit yang pada awalnya santri menjadi ulama’ yang sangat disegani karena tulisanya yang mampu menginspirasi serta memberikan ilmu pada setiap orang. Sebut saja ulama-ulama besar sekaliber Imam As-Syafi’i, Imam Al-Ghazali, Imam An-Nawawi dan sederetan ulama lain adalah para penulis ulung. Mereka menulis begitu banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga harus diakui bahwa ilmu pengetahuan agama yang berkembang hingga saat ini adalah warisan yang mereka tinggalkan lewat tulisan-tulisan mereka.
Sejarah mencatat bahwa kejayaan ilmu pengetahuan beberapa abad silam tidak terlepas dari peran ulama-ulama saat itu yang konsen menulis. Mereka menulis apa saja ilmu yang mereka miliki di kertas-kertas lalu menyebarkan untuk umat di seluruh belahan dunia. Sehingga tidak mengherankan jika saat-saat itu diukir dengan tinta emas dalam sejarah Islam sebagai era kebangkitan ilmu pengetahuan dunia Islam.
Dalam konteks kekinian, tradisi menulis Islam yang mulai meredup harus kembali digalakkan. Khususnya oleh kalangan santri yang notabene lumbung ilmu pengetahuan agama dan tulang punggung pembentukan moralitas dan akhlak anak bangsa.
Para ulama’ juga meninggalkan pesan-pesan yang membahas tentang bagaimana pentingnya menulis. Seperti yang pernah disampaikan oleh Ulama terdahulu, Iman Syafi’i menyampaikan bahwa “ikatlah ilmu dengan menulis”. Tidak semua apa yang kita dengar, lihat, rasakan serta fikirkan dapat kita ingat selalu. Sehingga sangat perlu catatan atau tulisan yang dapat mengingatkan kita saat diperlukan.
Imam Ghozali juga pernah berpesan bawha “jika engkau bukan anak seorang raja, atau anak seorang ulama’ maka menulislah”.
Tulisan adalah segala sesuatu yang kita tulis, baik itu angka, huruf, atau simbol. Saat ini tulisan telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.Karena salah satu alat komunikasi yang telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu ialah tulisan. Apalagi bagi seorang santri, tulisan adalah teman dalam mencari ilmu. Buktinya, hal pertama yng harus kita kuasai adalah menulis dan membaca.
Menulis juga dapat dikategorikan suatu Sedekah! Ya, menulis adalah sedekah. Karena dengan menulis kita dapat berbagi kebahagiaan, suka cita, pengalaman dan cerita. Dengan menulis kita dapat menyampaikan ajaran-ajaran Allah, seperti yang dilakukan para ulama’-ulama’, juga dengan menulis kita dapat memberi pelajaran pada generasi selanjutnya, sehingga diharapkan generasi selanjutnya dapat mengambil pelajaran pada generasi sebelumnya.
Bukankah dengan hal tersebut, kita terhitung bersedekah? “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” begitulah sabda Nabi. Menulis menjadi  lebih baik daripada sekedar membaca saja. Berbagi ilmu, nasehat serta pengalaman sebagai bahan pembelajaran untuk orang lain menjadi suatu amalan baik yang ternilai ibadah.
Seperti yang sudah saya singgung di atas, santri memegang peran begitu besar bagi persebaran ilmu pengetahuan serta informasi selama berabad-abad lamanya. Menulis juga menjadi salah satu faktor penting untuk memelihari stabilitas keilmuan dimasa yang akan datang. Sebab apabila ilmu yang dimiliki oleh seorang santri atau ulama tidak diabadikan lewat tulisan maka kemunduran ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang adalah sebuah ancaman nyata. Betapa tidak, setelah beliau wafat, ilmu yang dimiliki santri tersebut ikut terbawa bersama kepergiannya menghadap sang pencipta.
Sangat jelas peran dan tanggung jawab sebagai santri ataupun secara luas setiap orang untuk terus menulis setiap ilmu yang dimilikinya. Sehingga budaya menulis bukan lagi hanya sebagai harapan namun sudah mampu mengakar di setiap masyarakat. Dan kita berharap dan berusaha semoga kedepan setiap santri dan seluruh umat benar-benar memegang teguh budaya menulis dan membaca sebagai pembuka cakrawala masa depan yang gemilang. Mari Menulis Kawan.

No comments:

Post a Comment