Tuesday, December 8, 2015

Di Bawah langit Amsterdam



Lama sekali aku berdiam disini. Ruangan berangsur-angsur sepi. Hanya karena termenung. Terus termenung. Pandanganku jauh kedepan, menembus kaca buram jendela, melewati cemara-cemara yang tetap kukuh berdiri meski tertimbun   salju, menerobos deretan bangunan khas Eropa dan gedung-gedung pencakar langit, jauh dan terus menjauh. Yah! Hatiku sedang kelabu, seperti langit siang ini. Dan Kristal-kristal es terus berjatuhan tanpa ampun menutupi daratan, membentuk seumpama permadani putih yang menghampar luas tanpa ujung.
“I will be at the home tomorrow, Srikandi.” Lantang.
Aku tersentak seketika. Suara itu laksana gelombang besar menghantam karang imajiku. Hancur berantakan.
“Hellena, come here moment…!”
Sambil terus pergi ia menjawab: “Sorry, I am so busy. Bye!”
Menghilang dibalik pintu. Sesaat aku terpaku. Ku lihat sekeliling, kelas telah sepi. Tinggal aku sendiri.
I will be at the home, ku ingat katanya. Mendadak ingatanku melayang jauh ke rumah. Aku rindu pada semua yang ada di sana.
###

Srikandi, adalah nama yang dianugerahkan Emak padaku. Bapakku hanya setuju. Barangkali, berharap aku perempuan pemberani dan perkasa seperti dalam cerita. Padahal yang terjadi, aku seorang perempuan kurus dan pemalu.
Bapakku seorang guru di sekolah SMP. Hari-harinya diisi dengan mengabdi pada Negara demi mencerdaskan bangsa. Bagi kami, beliau adalah profil seorang ayah yang baik. Selain sibuk dengan pekerjaannya, tugas kepala rumah tanggapun tak pernah dilalaikannya. Misalnya dalam mendidik dan memperhatikan kami, anak-anaknya.
“Jadilah anak solehah yang bias membanggakan orang tua.” Demikian beliau sering berpesan padaku, anak pertamanya.
Sampai beranjak dewasa, setelah genapnya umurku yang ke empat belas tahun ini masih terkenang jelas dalam memori otakku. Bahkan, kusimpan rapat-rapat dalam hati sanubari. Sehingga bagaimanapun, dalam hal apapun aku tetap berbuat yang terbaik untuk mereka. Tak ada alas an untuk aku mengecewakannya, apalagi sampai melukai hatinya.
Namun tak pernah kami sangka, secepat itu takdir memaksa kami untuk hidup tanpanya. Diusianya yang ke-42, tanpa penyakit dan datangnya marabahaya, tiba-tiba ajal menjemputnya. Beliau pergi dari kehidupan kami, selamanya, meninggalkan istri dan tiga anaknya. Beberapa saksi melihat ibu menangis tersedu-sedu disisi jenazah bapak, seperti anak kecil kehilangan mainan, seolah tak merelakannya. Tuhan Yang Mahakuasa rupanya member cobaan berat pada kami.
Bapakku yang seumpama kapten gugur, meninggalkan para anggotanya, Emakku sebagai istrinya harus siap menjadi kepala keluarga. Mau tidak mau tugas berat kepala rumah tangga diambil alih Emak. Beliau yang dulu hanya seorang ibu rumah tangga, kini menjadi pedagang sayur keliling kampong dan buka warung kecil-kecilan. Demi anak-anaknya, kerja seharian penuh, bangun pukul tiga dinihari hingga petang tak jadi masalah. Ibarat kata, demi kami darah dan air mata beliau korbankan. Itulah Emak. Pantas aku berbangga padanya.
###
Hari yang ku tunggu tiba. Detik waktu seolah melaju cepat laksana pesawat tempur. Tanpa terasa diusiaku yang hampir genap enam belas telah lulus SMP.
Terhitung empat bulan Emak ditinggal almarhum Bapak. Beliau kurus dan tampak tua. Di wajahnya bermunculan goretan-goretan tanda penuaan. Serta rambutnya yang panjang sudah tumbuh uban. Aku tak sampai hati membayangkan Emak harus terus bekerja keras demi menghidupi kami, membiayai sekolah kami. Cukup Emak lelah mengurusi kami sejak kecil, asal jangan terus kelelahan bekerja keras hingga setua ini. Maka, pada satu kesempatan aku bicara padanya:
“Mak, Sri mau bekerja. Sudah waktunya. Mak istirahat saja bila perlu…”
Beliau tersenyum padaku, entah apa maknanya.
“Tak perlu. Kamu sekolah saja yang rajin, jika perlu sampai sarjana. Mak masih kuat. Masih sanggup…” Jawabnya kalem. Tersenyum padaku.
Ibuku, memang perempuan perkasa. Aku sangat bangga. Namun, jujur, tetap aku tak sampai hati. Sungguh. Sehingga aku ngotot, dengan dalih”
“…Srikandi hanya seorang perempuan, dan perempuan pada akhirnya menjadi istri,…melayani seorang seorang suami di rumah…”
Mendengar kata-kataku mendadak raut wajah Emak berubah merah. Merah sekali. Tapi diam sembari menatapku tajam. Rupanya ada yang salah dengan ucapanku. Dan aku takut. Takut dimarahi. Beberapa detik kemudian beliau berucap lirih, berat:
“Srikandi, tak sadarkah kamu?! Pandanglah baik-baik Emak!” diam sesaat. Matanya berkaca-kaca.
“Mungkin saja suatu hari nanti, setelah kau berkeluarga, lalu kamu ditinggal suamimu karena cerai atau meninggal dunia. Maka kamu menjadi kepala keluarga bagi anak-anakmu… harus bisa menafkahi mereka…”
Aku diam mematung seperti malin kundang kena kutuk ibunya.
“Itulah alasan Emak menginginkan kamu sekolah setinggi-tingginya, agar kamu bisa bekerja… tidak hidup susah seperti Emak…” Lanjutnya.
Kulihat pipi Emak basah, berlumuran air mata, seperti pipiku. Aku tersadar. Segalanya tersingkap jelas. Emakku yang pendiam, yang selalu tersenyum untukku, yang hanya lulusan SD, ternyata lebih mengerti dan peduli dari yang ku bayangkan.
Lekas ku dekap tubuh hangatnya. Ku remas baju kebayanya. Tiba-tiba kedamaian menjalar ke seluruh tubuhku.
###
Jauh. Jauh sekali dari tanah kelahiranku. Di sini aku merindukannya, orang paling ku cintai dan ku banggakan yang pernah hidup bersamaku. Emak, dua tahun jauh darimu, tak pernah memandang senyummu, seperti berabad. Aku rindu sekali. Seperti ladang pada hujan dimusim kemarau. Di bawah langit kelabu kota Amsterdam ingin ku tulis surat padanya, berharap rinduku terobati.

Assalamu alaikum Wr.Wb.
Bagaimana kabar Emak dan adik-adik di rumah? Semoga sehat wal afiat dan selalu dalam lindungannya. Begitupun Srikandi di sini.
Pasti Emak senang dan tersenyum saat membaca surat ini. Begitupun Sri saat menulis surat ini. Srikandi rindu sekali , ingin memeluk dan memandang wajah Emak dan adik-adik. Semoga saja Tuhan cepat mengabulkannya. Dan kita bias bersama lagi.
Emak! Berkat do’a Emak semester kali ini Srikandi mendapat nilai tertinggi di kampus. Dan Srikandi akan terus berusaha, belajar sungguh-sungguh agar terus berprestasi. Sri tak akan mengecewakan Emak.
Oh, ya! Bagaimana dengan adik-adik? Tolong sampaikan pada mereka: belajar yang rajin agar bias dapat beasiswa ke luar negeri seperti kak Sri!
Terakhir. Jaga kesehatan Emak dan adik-adik. Jangan khawatirkan Srikandi di sini, pokoknya baik-baik saja. Dan semoga Tuhan selalu cepat mengabulkan do’a kita.
Wassalamu alaikum Wr.Wb.

Saltu terus berjatuhan dari langit. Ruang kelas sunyi sepi. Ku tengok jam dinding. Pukul 3 sore. Buru-buru ku bereskan barang-barang ke dalam tas. Lalu segera meninggalkan kelas.
###

1 comment: