Kehidupan kami indah waktu itu, melebihi aurora diatas belantara Amazon atau sunrise yang kerap ku jumpai saat pergi ke surau untuk shalat Subuh berjamaah dan mengaji. Kami punya pandangan jauh ke depan secerah sinar mentari pagi. Seperti kebisaaan Emak menyulam wol pada kotak-kotak kain strimin, membuat sebuah lukisan mozaik yang artistik dan mempesona, begitulah kemantapan langkah kami meniti hari demi hari.
Gambaran keluarga kami –saat itu –harmonis dan mapan, nyaris tanpa prahara, idaman setiap orang. Memang benar Nabi ku bersabda : baiti jannati, rumahku surgaku. Karena di bawah atap genteng rumah ada sejuta cinta dan cita satu sama lain. Para ahli pun banyak yang ikut menyatakan pendapatnya, bahwa keluarga menjadi tolak ukur maju dan tidaknya sebuah negara. Bukankah, keluarga adalah miniatur sebuah bangsa. Melihat negara besar cukup dengan memperhatikan macam apa keluarga dalam negara tersebut. Jika banyak yang semrawut, tentu negara itu seperti benang kusut, banyak masalah dimana-mana. Begitupun sebaliknya, keluarga sehat mencerminkan negara kuat. Itu kenapa ayah-ibuku sangat menjaga keluarganya, seperti ia menjaga harta tak ternilai harganya. Kami, anak-anaknya banyak belajar, dan pantas berbangga pada mereka, karena sudah menjadi pahlawan paling tangguh dalam hidup kami. Untuk menghitung berapa banyak jasanya, sama susahnya seperti menghitung udara yang kami hirup sepanjang waktu. Mereka tak tergantikan oleh siapapun. Sampai kapan pun. Kami betah bersama mereka, duduk berdampingan sambil bergurau dan tertawa bersama. Dan banyak hal lainnya yang suatu saat nanti kami sangat merindukannya. Amat sangat merindukannya. Karena di kemudian hari hal itu sulit kami dapatkan. Lebih sulit dari kami mencari uang dan emas permata sekalipun. Andai hari itu bisa terulang kembali untuk satu kali saja…
Pekerjaan Ayah sangat orang desa : bertani dan berdagang. Kesehariannya kalau tidak berkubang di lumpur sawah, berarti tengah berpanas terik menjual buah di pasar Karang Ampel yang kumuh, pengap, bau busuk, berisik dan gaduh sepanjang hari. Perawakannya kekar laksana Samson lantaran setiap hari melatih otot-ototnya dengan mengangkat beban berkranjang-kranjang buah atau mencangkul lahan luas sawahnya. Beliau tipikal pekerja keras yang tak kenal waktu seharian bertempur di medan kerja. Berangkat berdagang menjelang terbit fajar, sebelum kami, anak-anaknya terjaga dari mimpi, pukul setengah empat dini hari. Aku nyaris tak pernah menemukannya saat terbangun dan tak ada waktu sarapan bersama dengan kami kecuali hari–hari tertentu. Alhamdulilah, dari hasil jerih payahnya itu, ayah dapat membeli beberapa petak sawah, tanah serta bisa membangun rumah. Adapun sebagian sawah-sawahnya disewakan pada orang lain dengan hasil bagi dua. Sebagian kecil lainnya ia urus sendiri demi mengisi waktu senggangnya jika libur berdagang. Maka penghasilan keluarga kami lumayan melimpah dan bisa hidup lebih dari berkecukupan. Dan selalunya ayah baru akan pulang menjelang petang, ketika adzan Maghrib beberapa menit lagi berkumandang. Saat hari mulai gelap, nuansa rumah kami menjadi indah untuk dikenang. Sebab keluarga ini baru lengkap dan bisa berkumpul bersama walau sekedar makan malam atau nonton film sinetron. Aku maupun saudaraku berbicara panjang lebar tentang aktifitas hari ini, disambut tawa lepas kami jika ada hal yang lucu. Kadang ia sampai menasehatiku lewat cerita yang pernah ibu sampaikan.
“Galih, jangan suka membuat Emakmu kesal! Apa kau ingin di kutuk seperti malin kundang?”
Aku diam dan menunduk. Walau hanya dongeng nyatanya sanggup menakut-nakuti diriku.
"Emak" itu panggilan kesayangan kami pada ibu, seorang pendongeng ulung yang pernah kami jumpai. Di usia yang masih sangat muda, tidak sekedar tahu, kami, anak-anaknya sudah hafal banyak cerita, legenda atau hikayat orang melayu seperti kisah malin kundang yang dikutuk menjadi batu. Disamping itu, Emak seorang ibu rumah tangga yang sebagian besar waktunya berada di rumah melayani kami. Ia tak banyak tahu atau terlibat dalam pekerjaan ayah. Namun, ia begitu banyak memengaruhi kepribadian kami, anak-ananya. Untuk menceritakan sosok ibuku, butuh berlembar-lebar halaman yang nanti ku bahas.
***
Pagi itu rumah ini sepi. Didekat jendela rendah ruang tamu, Emak duduk termenung seorang diri. Di wajahnya yang lonjong menyiratkan kegelisahan yang tak sempat diungkapkan pada siapapun. Sorot matanya terlempar ke luar jendela, jauh menerawang, melewati hijaunya kebun dan sawah, menembus cumulus-cumulus seputih kapas berarak di ketinggian. Mungkin, kicauan kutilang dan pergantil yang gaduh di dahan jambu air tak didengarnya sama sekali. Pikirannya diganggu oleh bayangan kejadian kemarin sore.
“Besok, ada sesuatu yang hendak ku berikan padamu.”
“Apa itu?”
Lelaki penyayang itu tersenyum manis. Senyum khasnya yang entah ke berapa ribu kali dilihatnya.
“Sesuatu yang tak kan terlupakan olehmu…”
Hanya sampai disitu. Lantas berlalu, menghilang di balik pintu.
Dialog singkat dengan suaminya sepulang dagang itu masih segar dalam ingatan. Terus menari-nari dalam kepalanya. Memang, suaminya pandai sekali membuat kejutan. Tipikal pria romantis. Misalnya, tanpa di duga, beberapa kali Emak di ajak jalan-jalan saat sedang memasak atau mencuci pakaian. Moment seperti itu, diam-diam ia menyukainya. Unik, berbeda dan mengesankan, baginya. Dan, sejujurnya, ia menunggu kejutan apakah untuk kali ini? Kata “tak kan terlupakan” oleh suaminya meyakinkannya bahwa kali ini teramat istimewa. Rasa ingin tahunya menggelora bagai ombak pasang ketika bulan purnama. Untuk sekedar menebak-nebak, hampir semalam suntuk matanya terjaga.
Ia pikir, malam harinya sang suami mau menyampaikan "kejutan" sangat rahasia itu. Dadanya terus saja berdebar-debar seperti calon karyawan yang akan di interview. Penasaran. Tapi, di tengah malam mendadak suaminya demam tinggi, sembari sesekali meringis entah kedinginan atau kesakitan. Padahal, beberapa saat sebelumnya tampak sehat dan segar-bugar. Tak sedikitpun adanya gejala demam. Canda tawa lelaki penyayang itu, beberapa jam lalu, saat di meja makan masih begitu jelas terasa. Serta wajah gembiranya yang tak kurang sesuatu apapun. Dan sampai pada pagi ini, suaminya yang seharusnya berada di tengah hiruk-pikuk pasar, mencari penghidupan, bernegosiasi dengan para pembeli dan pelanggan, malah masih meringkuk dibalik selimut di atas ranjang. Ia tak berdaya melawan sakit yang membuatnya udzur kerja hari ini. Sesekali tubuh kekar yang legam itu menggigil. Disusul rintihan lirih, seperti berbisik, namun entah apa yang diucapkan. Emak menjadi khawatir kalau-kalau sakit yang diderita suaminya bertambah parah.
Kegelisahan itulah yang tengah berkecamuk dalam dadanya.
Kali ini ia mencecap teh buatannya yang hangat. Kepalanya kembali mendongak. Sinar ultra violet menerpa sebagian tubuhnya, menampilkan siluet dibelakang pundaknya.
Semoga cepat sembuh. Paling akibat kelelahan bekerja kemarin, sangkanya. Lebih tepatnya ingin mengusir risau yang dialaminya. Angin sepoi menelusup masuk lewat sela jendela, mengelus-elus kulitnya serta merta membawa angannya melayang jauh, dan kembali mengingatkannya kejadian malam tadi bersama suaminya.
“Minah, Akang cemburu jika suatu saat nanti kau milik orang lain.”
Detik selanjutnya keduanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Perempuan pemalu itu menangkap kata berbeda dari biasanya. Cemburu. Ah, baru kali pertamanya lelaki yang sangat dicintanya menyebut kata itu. Sejak kapan orang desa bisa mengucapkan kata itu? Seperti bergurau saja.
“Apa Minah pernah membuat Akang cemmm…buru…?”
Diam. Suaminya menanggapi pertanyaannya dengan tersenyum saja. Karena memang selama ini sang istri setia, tak pernah sekalipun main serong.
“Tapi, apakah Minah mau berjanji?”
“Berjanji untuk apa?”
“Tidak mengkhianati Akang?”
“Akang, kenapa bilang begitu?” Keningnya mengernyit hingga kedua alisnya bertemu. Tak selalunya suaminya berbicara seperti itu. Penuh selidik bak seorang detektif.
Adakah yang salah dengan diriku? Tanyanya pada diri sendiri.
“Akang takut, kamu di bawa orang. Tapi, semoga saja semua itu tidak terjadi.”
Mendadak raut mukanya berubah merah. Ia tersinggung.
“Apa Minah pernah selingkuh, Kang?”
Lagi–lagi suaminya tersenyum, semakin lebar, seraya menatap lekat–lekat perempuan dihadapannya yang sudah belasan tahun menjadi istrinya. Ada kilatan cinta teramat besar dibalik dua bola mata coklat suaminya, yang merambat cepat bersama pandang dan seketika mendamaikan hatinya.
“Kamu tak seperti itu. Kamu wanita luar biasa bagiku. Itulah mengapa aku sangat menyayangimu. Terus terang saja, akang takut kehilanganmu…”
“Tapi, kenapa bicara seperti itu?”
“Akang hanya ingin mengatakannya saja. Entah kenapa.”
Begitulah obrolan terakhir menjelang tidur malam tadi sebelum suaminya dilanda demam yang sebenarnya meninggalkan tanda tanya besar. Tapi ia tak mau dipersoalkan. Mungkin seperti itu cara suaminya menyampaikan cinta.
Lagi segelas air teh hangat itu dicecapnya. Aroma, rasa dan hangat yang mengalir ke dalam tubuhnya perlahan menenangkan pergolakan batinnya. Kemudian menghela nafas panjang, seolah melepas beban di benaknya. Seperti pagi yang berangsur-angsur tergantikan siang, kekhawatiran itu perlahan menghilang. Pandangannya masih menerawang. Jauh melintasi batas waktu.
Selama ini ia merasakan kehidupan yang indah bersama suaminya. Walau tanpa kejutan pun itu sudah lebih dari cukup, pikirnya. Diam–diam ada kebahagiaan menyelinap dalam dadanya. Meledak bagai granat demi menepis keresahan yang semenjak pagi tadi menerornya.
Kenapa harus kecewa karena sampai hari ini belum mendapat kejutan itu? Kiranya, tak perlu aku kecewa. Bukankah hidup dengannya adalah hadiah terindah?
Namun, dengan tiba-tiba kegelisahan itu datang lagi, dari arah berbeda. Bukan saja itu, Ia takut kalau–kalau suatu hari nanti lelaki penyayang yang dikenalnya justru mengkhianati cintanya. Mungkin karena bosan hidup dengannya, lantas menceraikannya. Atau… entah apa lagi. Hal itu bisa saja terjadi. Sudah banyak bukti, suami menceraikan istri sebab tersandung hatinya dengan perempuan lain yang tentu lebih cantik. Atau alasan sepele yang ternyata mampu meretakkan pondasi rumah tangga yang sudah dibangun mereka berdua sekian lama. Dan masih bilangan kejadian lainnya yang ternyata dapat memutuskan ikatan suci seorang istri dan suami.
Semoga saja tidak!
Krakk!! Kreeetttt!!!
Derit pintu itu bagai debur ombak besar menghantam karang imajinasinya. Pecah berkeping-keping. Seketika tersadar dari lamunannya. Lantas menoleh. Tampak sosok suaminya menyumbul dari dalam kamar, bersarung dan berkaos oblong putih. Diantara wajah pucatnya tersungging senyum. Senyum manis yang sudah dihafalnya sejak belasan tahun silam. Senyum dari seorang lelaki penyayang yang telah banyak berkorban untuk dirinya. Senyum singkat yang tulus dan menggetarkan dada, selalu bisa meneguhkan hati dan menguatkan tekadnya demi menyongsong hari depan yang cerah. Hingga, tanpa sadar bibirnya bergerak-gerak membentuk senyum, demi membalasnya.
“Akang, sudah bangun. Mau kemana?”
“Kamar mandi.”
“Perlu di bantu?”
“Tidak perlu. Terimakasih.”
“Mau di buatkan teh?”
Mengangguk.
Tanpa banyak basa–basi lagi Emak bangkit dari kursi dan segera pergi menelusuri lorong rumah bagian belakang.
***
Jam dinding dalam ruangan itu terbaca pukul 10.13…
Anak kecilnya yang masih balita mendadak menangis tanpa sebab. Ia mengerti, ini sangat mengganggu suaminya yang tengah sakit. Buru-buru dibawanya keluar rumah. Barangkali mau jajanan, pikirnya. Tapi, memang akhir-akhir ini anak bungsunya sering menangis secara tiba-tiba ketika tengah malam. Membangunkannya yang baru saja terlelap tidur. Bukan karena pipis di celana, lapar atau kesakitan. Entahlah. Sepintas ia ingat ada bahan makanan yang belum dibelinya untuk makan siang. Berarti ia harus bergegas membawanya ke warung sayuran yang cukup jauh dari kediamannya.
Di tengah jalan, hingga sampai di tujuan si bungsu makin menjadi-jadi tangisnya. Di kasih jajanan, di lempar. Di emban, terus meronta entah apa yang diinginkan. Ia kwalahan. Beberapa teman dan tetangganya berusaha membantu. Namun, tak sedikitpun menyurutkan tangis histeris anak lelakinya.
Usai belanja segera bertolak pulang ke rumah. Matahari semakin meninggi. Terasa menyengat. Mungkin akibat gas kaca yang semakin mempertipis lapisan ozon. Ingar bingar.
***
Jam dinding ruang tamu terbaca pukul 10.55
Rumahnya tetap sepi. Lengang. Hanya tangisan bungsu yang sedikit mereda. Ia tahu, anak pertama dan keduanya segera akan pulang dari sekolah. Di meja, tempat ia meletakkan teh sebelum berangkat masih utuh, belum tersentuh sama sekali oleh suaminya.
“Akang,…” Ucapnya sambil duduk di kursi ruang tamu.
Bisu. Tak ada jawaban dari dalam kamar.
Apakah suamiku tidur lagi? Cepat – cepat ia melangkah ke kamarnya demi memastikan.
Lelaki itu berbaring di atas ranjang dengan pakaian shalatnya : sarung dan baju putih lengan panjang. Ada senyum tersungging di wajahnya. Manis sekali.
“Akang,… Akang… Bangun!” Sambil mengguncang–guncang perlahan tubuh suaminya dengan tangan kanannya. Sementara tangan lainnya mengatur keseimbangan mengemban anaknya yang tetap merengek-rengek itu.
Lelaki itu masih saja tertidur. Tentu tak biasa. Kulitnya merasakan dingin dan kaku pada tubuh kekar legam itu. Sekonyong – konyong firasat buruk menyentaknya begitu kuat.
“Akang, bangun! Bangun!!” Suaranya meninggi.
Panik.
Seakan cambuk mengenainya, melecutnya begitu amat keras. Seketika jantungnya berdetak kencang, berlomba lari maraton. Ia terlonjak kaget bukan buatan. Karena lelaki yang murah senyum itu masih saja diam tertidur pulas. Bahkan mungkin untuk selamanya.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un!”
Mendadak, dadanya sesak. Kepalanya pening. Pandangannya kabur, berkunang–kunang. Staminanya susut. Anjlok. Semuanya berwarna buram. Disekelilingnya. Lalu menjadi hitam. Gelap. Bersamaan dengan tubuhnya yang terasa sangat lemas. Dan kaki tak mampu lagi menopangnya. Lantas ambruk bersama anaknya yang terus menangis histeris. Dan segalanya hitam pekat.***
nb. cerita ini berlanjut pada cerpen berikutnya
No comments:
Post a Comment