Sore ini,
setelah berhari – hari menghilang dalam hutan, tempat persinggahannya, Kabul
pulang ke rumah. Langkahnya terburu – buru menelusuri jalanan desa yang ramai
orang berlalu – lalang, seperti ketika ada panggilan alam tak tertahankan. Dari
kejauhan ke dua orang tuanya terkejut saat mendapatinya. Selama lima hari
anaknya menghilang, tanpa bekal, entah kemana. Mereka mengira anak sulungnya di
culik jin penghuni hutan bambu di perbatasan desa itu. Memang, semua warga
mengakui keangkerannya. Nyaris tak ada orang berani melintasi daerah rawan
tersebut malam - malam. Bahkan, siang bolong pun sebagian orang pernah sampai
dikerjai bangsa lelembut penguasa daerah itu. Dan menurut orang pintar, di
sanalah kerajaan besar jin bertahta.
“Kabul,
kemana saja kau? Emak mencarimu ke mana - mana ...” Ucap ibunya sambil melihat
ke sekujur tubuh anaknya, takut – takut terjadi sesuatu yang tak di inginkan.
Sebenarnya,
kabul pemuda yang baik. Penurut pada orang tua. Ketika datang, ia lekas
menyalami dan mencium punggung tangan keriput milik dua orang yang
melahirkannya. Hanya saja, ia lelaki yang sangat kesepian. Sebab
keterbelakangan mental, menjadi seorang gagu, selalu saja ia menjadi bahan
ejekan banyak orang, lebih - lebih teman seumurannya. Bagi Kabul, daripada
sakit hati, mending menyendiri. Itu kenapa, belakangan ini ia sering mendatangi
hutansambil membawa rebana, alat musik paling digemarinya. Sendirian.
Menghabiskan berjam – jam di sana. Laiknya orang bekerja, berangkat pagi pulang
menjelang petang. Orang mana yang tak mengkhawatirkannya?!
Melihat diri
anaknya tak kurang sesuatu apapun, perasaan sangat khawatir sejak kemarin berangsur
– angsur lenyap. Malah, kabul tampak bahagia. Wajahnya sumringah seperti orang
habis menang lotre.
Mendadak ia
ingat sebagian tetangga mulai berkomentar
:
“Sumi,
anakmu itu aneh. Tak mau bergaul dengan yang lain. Malah suka menyendiri di
tengah hutan. Kau tahukan di sana banyak jin, genderuwo, wewe ...”
“Iya. Apa
kau tak takut anakmu di culik nanti? Atau kerasukan?”
“Apa mungkin
sudah berteman...?”
Sumi tak
dapat mengelak dugaan sahabat – sahabat dekatnya. Dadanya sesak melihat
kenyataan ini. Tak wajar memang, tempat rerimbunan bambu yang gelap dan angker,
lokasi bangsa lelembut beranak - pinak, tak ada orang berlalu lalang di sana,
menjadi tempat persinggahan favorit anak pertamanya.
“Sudah
sinting bocah itu. Tak boleh di diamkan.” Hatinya bergumam.
Maka
interogasi di mulai usai shalat maghrib, setelah anaknya makan. Barangkali, sebagaimana
pepatah, perut kenyang dapat menjernihkan pikiran seseorang.
“Kabul, katakan
dengan benar, dari mana saja kau?”
Pertanyaan
pertama di jawab dengan kebisuan. Kabul belum mau angkat suara.
“Emak tahu
kau ke hutan itu lagi kan?! Apa yang kau perbuat di sana?”
“Mmmaaiinn
rererebbbaannaa”
“Main rebana
kan bisa di rumah saja. Atau di surau sana. Kan lebih dekat tempatnya. Kau tau
kan di sana banyak jin, setan, dedemit . Apalagi sampai lima hari. Makan apa
kau? Kemenyan? Daun bambu?”
Sebenarnya
Sumi sangat marah bercampur khawatir pada anaknya. Namun, sebisa mungkin ia
tahan. Barangkali, dengan cara kelembutan dapat mencerahkan pikiran anaknya.
Tapi Kabul
diam seribu bahasa. Seperti ingin benar – benar menjaga rahasia.
“Dengan
siapa di sana?”
Terdakwa
tertunduk lesu. Entah apa yang ada dalam pikirannnya. Putus asa kah? Marah?
Atau menderita? Sementara tiga orang dihadapannya memandang muak dan
menunggu kalimat darinya.
Serupa
dengan istrinya, lelaki tua itu ingin sekali menghukum keras anaknya satu ini. Tapi,
rasanya tak pantas. Sudah dewasa! Atau didiamkan dan tak ada tindakan dan
peringatan keras. Itu pun salah. Dilema.
Tak lama
berselang, kepala Kabul mendongak. Mulutnya perlahan terbuka dan berusaha keras
berbicara. Enam pasang mata terkejut. Dipasang lebar – lebar pendengaran mereka.
“Baapppaa,
mmaaa, ssssayaa mmmaau nnniiikah.”
Suami –
istri itu berpandangan. Disusul gelengan kepala. Seperti mendengar berita aneh
dari luar angkasa.
Interogasi
belum usai, Kabul bangkit, lantas berbalik dan berlari ke luar rumah. Secepat
kijang diburu harimau. Menerabas gelapnya petang. Menuju perbatasan. Tak
dihiraukan suara teriakan memanggil – manggil namanya di belakang.
Yah! Ia
ingin tenang. Dan disanalah ia dapat ketenangan.
***
Desa Tugu
geger dengan berita minggatnya Kabul dari rumah. Orang tuanya dibuat bingung
dan kesal. Malah mereka was – was kalau – kalau anaknya menikah dengan bukan
bangsa manusia, tapi jin. Celakanya, dukun, Kiai dan orang pintar lainnya yang
di bayar untuk mencarinya gagal menemukannya. Bisa jadi ilmu mereka belum mampu menembus tirai gaib kerajaan jin menyembunyikan
kabul. Ada pula versi lain yang bengabarkan Kabul bunuh diri di hutan karena
frustasi dan bangkainya di makan ular atau binatang buas lainnya. Tetua kampung
mengingatkan agar orang tua menjaga baik – baik keluarganya dan supaya lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahakuasa.
“Dasar setan
terkutuk! Kerjanya mengganggu manusia.” Sumpah serapah itu berkali-kali
terlontar nyaring dari mulut keriput orang tua itu. Lagi – lagi sesak dadanya
melihat kenyataan ini. Dan lagi-lagi tak membawa perubahan apa-apa pada diri
dan keluarganya.
Sepuluh hari
berikutnya, di tengah malam buta, saat mereka lelap tertidur, rumahnya diketuk
orang berkali-kali. Membuat suami-istri itu terjaga.
Siapa
tengah malam begini bertamu? Tak ada waktu lainkah?
Karena
suaminya malas keluar kamar, terpaksa Sumi yang membuka pintu depan rumahnya. Sambil
terkantuk-kantuk berjalan ke sana.
“Bapak,
cepat ke sini!”
“Ada apa?”
“Kabul.”
Deggg!
Lelaki sepuh
itu terlonjak. Dan seperti ada kebakaran, lekas bergegas keluar kamar.
Ia terkejut
tak kepalang. Seperti melihat hantu kepala buntung. Dilihatnya di muka pintu
anak lelakinya tersenyum memandangnya. Membawa gadis cantik jelita, bahkan
lebih cantik dari gadis manapun yang pernah dijumpainya, seumur hidupnya.
Mulutnya perlahan terbuka. Namun, tak ada kata-kata. semuanya terperangkap di
kerongkongan. Sekujur tubuhnya bergetar. Panas dingin. Keringat bercucuran.
“Bbaapaa,
Emmaa, Kabul sudah menikah.”
Deggg!
Deggg!!
Tak ada
gagap.
Telinganya
berdiri mendengar suara anaknya yang sangat dikenalnya. Sama seperti ia
mengenal bau keringat anaknya.
***
Desa Tugu
masih seperti dulu. Terpencil dan sepi. Apalagi ketika malam datang. Sunyi
senyap. Hanya kawanan jangkrik bernyanyi dibalik semak-semak belukar dan kepak
kelelawar menepis angin malam. Menurut berita yang beredar, Kabul tak pernah
pulang menemui orang tuanya. Kecuali dua kali sebelum keduanya meninggal dunia.
Pemuda itu sudah punya rumah. Dan keluarga. Di tengah hutan bambu di
perbatasan. Di tengah dunianya yang berbeda. Mungkin kamu tidak percaya. Coba
datanglah ke desa sunyi itu. Hampir setiap tengah malam, terdengar nyaring
alunan tabuhan rebana jauh dari dalam hutan. Masyarakat mengatakan, Kabul, anak
dari pak Slamet dan ibu Sumi yang sedang memainkannya. Hingga kini. Dan entah
sampai kapan.***
No comments:
Post a Comment