KEMARAU
PANJANG
Saat
ini awan hitam pekat menyelubungi kampungku dari ketinggian. Banyak warga
memprediksikan bakal akan turun hujan setelah sekian lama kemarau panjang
menimpa. Melihat gejala alam demikian senyumnya merekah. Secercah harapan yang
sekian lama hangus oleh teriknya matahari mendadak muncul, memukul – mukul
dadanya. Melihat mendung semakin tebal, senyumnya kian melebar, seperti ketika
ia menerima segepok uang saat menjual hasil panen padinya tahun lalu. Ia bersama
tiga sahabat, senasib dan seperjuangan itu terus memperhatikan cuaca sore di
gubuk kecil dekat galangan sawah yang
kering dan retak – retak. Wajah putus asa menghadapi kemarau tahun ini untuk
kesekian kalinya berubah.
“Aku
yakin, musim hujan sebentar lagi tiba.” Ucap Ucup tanpa menoleh kepada lawan
bicaranya. Pandangannya terpaku di angkasa.
“Kemarin
juga mendung. Tapi malamnya tidak juga datang hujan.” Kirno menimpali.
“Gerimis
pun tak turun.” Imbuh Yasin.
Arman
yang hanya duduk mendengarkan terpengaruh dengan kalimat mereka. Benar juga! Sudah
dua kali mendung datang tapi nyatanya tidak juga menurunkan hujan. Dirasakannya
kemarau tahun ini lebih lama dari yang sudah - sudah. Membuatnya bertambah
resah.
Langit
bergemuruh tiba -tiba, nyaring, seperti tertawa, seakan mengolok – olok mereka.
Entah datang dari sudut mana, batinnya berkecamuk.
Apakah
kali ini Tuhan mau berbaik hati pada kami? Tanyanya
dalam hati.
Atau
kembali menguji hamba-Nya?
Tak
ada jawaban. Ketika melihat daun – daun tanamannya yang kuning karena
kekurangan air itu, dihelanya nafas panjang. Hanya bisa pasrah. Namun, jauh di
lubuk hatinya yang dalam, ia –dan ketiga kawannya –merasa sangat khawatir kalau
– kalau tahun ini akan gagal panen. Kepalanya pening memikirkan banyak hutang
karena harga sembako terus saja mengalami kenaikan. Sementara dirinya sebagai
petani biasa hanya mengandalkan lahan sawah ukuran 9 x 11 meter yang di
tanaminya benih padi tiga bulan lalu. Kalau sampai kemarau ini masih
berkepanjangan, ia tak tahu harus bagaimana menafkahi keluarganya. Seorang
tamatan SD seperti dirinya memang tak bisa diandalkan untuk mencari penghidupan
di luar sana. Karena ijazah, ilmu dan pengalaman tak dimilikinya. Sejak dahulu,
hanya sejengkal tanah ini yang terus menghidupinya dan keluarganya hingga kini.
“Tak
biasanya kemarau tahun ini. Sungai yang biasanya tak habis airnya itu,”
Telunjuknya menunjuk parit panjang membelah area persawahan “Menjadi kering
kerontang!”
Akhirnya
Arman angkat suara. Sedikit melepaskan beban dibenaknya.
“Negri
kita juga mengalami tantangan serius ...” Tambah Ucup. “Kau lihat di TV kan.
Berita pagi, siang, sore, malam, semuanya serba memprihatinkan.”
Arman
manggut – manggut setuju.
Grrrrrhhh!
Petir
kembali menggelegar di ketinggian. Sebelah barat daya awan hitam terus merayap,
seperti ingin menguasai cakrawala. Ke empat petani miskin itu mendongak,
menatap langit dengan hati penuh harap.
“Sepertinya
akan turun hujan malam nanti.”
“Semoga
saja begitu.” Katanya demi mendengar ucapan Yasin. Karena ia tahu, Tuhan
Mahapemurah.
***
Siang
menjelang senja Arman kembali merapat di tempat yang sama. Hanya saja tidak
bersama ketiga kawannya. Mukanya lusuh seperti pakaian yang dikenakannya. Ada
keputus asaan tergambar di sana karena malam tadi hujan yang begitu diharapkan
tak kunjung datang jua. Untuk tahun ini ia kwalahan mencari air di tanah
kelahirannya yang –kata banyak orang –subur dan makmur itu. Zaman ayah-ibu dan
kakek-nenek mereka memang sejahtera. Bahkan saking suburnya, hasil sawah
melimpah ruah hingga bisa dirasakan desa – desa tetangga yang kekurangan. Tapi
kali ini musim paceklik terasa dekat dan begitu lama berada di sisinya. lelaki
setengah baya itu termenung sejenak. Pikirannya menjangkau – jangkau sesuatu.
Adakah
yang salah? Apakah Tuhan murka dengan watak orang – orang desanya yang mulai
berubah, acuh dan serakah?
Ia
menyadari pribadi desanya perlahan sirna. Ajaran dari orang tua dulu tak
berbekas lagi untuk orang zaman sekarang. Mereka lebih menyukai kehidupan bebas
tanpa norma - norma. Buktinya, tenggang rasa, sopan santun anak muda, gotong
royong dan solidaritas antar sesama, bahkan budaya tegur dan sapa telah jarang
dipandangan mata. Budaya leluhurnya terus terkikis seiring perkembangan zaman.
Lelaki
kekar berkulit hitam legam khas petani itu melayangkan pandang menjelajah
cakrawala. Sorot matanya jauh menerawang. Seiring desir angin mengelus – elus
tubuhnya, serta merta pikirannya melayang - layang jauh, melintasi batas waktu.
Arman terkenang masa silam, saat ia yang remaja tengah gemar mengaji di surau
dekat rumahnya.
“Jika
hidup kalian terus saja susah dan menderita, pasti ada yang salah pada dirimu.
Maka pandai – pandailah melihat dan menasehati diri, sebelum melihat dan
menasehati orang lain,” Kata guru ngajinya suatu ketika dalam majlisnya di hadapan
murid - muridnya.
Ia
menarik nafas panjang. Terhenyak. Dadanya bergemuruh. Dan tubuhnya gemetar
seperti melihat hantu kepala buntung. Ia seperti mendapat ilham. Kepalanya tertunduk.
Lalu mengamati deretan padinya yang kuning tertimpa cahaya matahari sore.
Melihat sungai kering serta galangan yang retak – retak seperti tumitnya.
Sesekali angin sore berhembus pelan menebarkan aroma debu dan kesejukan.
Lantas
mendongak. Kumpulan awan hitam persis berada di atas ubun – ubunnya. Cuaca sore
ini lagi – lagi seperti kemarin. Sesekali halilintar berteriak, merobek
keheningan senja.
“Ya
Allah, ...” Hatinya berbisik menjerit.
Ia
sadari, telah lama melupakan sapaan itu. Dirinya terlampau lalai oleh urusan
dunia yang tanpa ada habisnya.
“Ya
Allah, maafkan hamba-Mu yang hina ini.” Sampai disitu saja kalimat yang
terlontar dari mulutnya.
Dadanya
kian bergemuruh. Tubuhnya berguncang – guncang menahan gejolak hatinya. Tak
lama berselang, gerimis turun. Angin sore semakin kencang berhembus, membawa
bulir – bulir air membasahi wajahnya, membersihkan debu di kulitnya. Ini hujan
pertama setelah sekian lamanya menunggu. Bibirnya tersenyum, lisannya bersyukur
dan ber-istighfar serta hatinya menangis meratapi tumpukan dosa yang
diperbuatnya. Ia ingin pulang. Ia insaf dan taubat. Dan ingin mengajak saudara
dan temannya agar bersama – sama memperbaiki keadaan diri dan desanya.
Semoga
kesulitan ini segera berakhir.
Ia
tahu dan yakin, Tuhan Mahapemurah dan Mahapengampun.
Santri--
No comments:
Post a Comment