Wednesday, March 2, 2016

Kabul



 

Sore ini, setelah berhari – hari menghilang dalam hutan, tempat persinggahannya, Kabul pulang ke rumah. Langkahnya terburu – buru menelusuri jalanan desa yang ramai orang berlalu – lalang, seperti ketika ada panggilan alam tak tertahankan. Dari kejauhan ke dua orang tuanya terkejut saat mendapatinya. Selama lima hari anaknya menghilang, tanpa bekal, entah kemana. Mereka mengira anak sulungnya di culik jin penghuni hutan bambu di perbatasan desa itu. Memang, semua warga mengakui keangkerannya. Nyaris tak ada orang berani melintasi daerah rawan tersebut malam - malam. Bahkan, siang bolong pun sebagian orang pernah sampai dikerjai bangsa lelembut penguasa daerah itu. Dan menurut orang pintar, di sanalah kerajaan besar jin bertahta.
“Kabul, kemana saja kau? Emak mencarimu ke mana - mana ...” Ucap ibunya sambil melihat ke sekujur tubuh anaknya, takut – takut terjadi sesuatu yang tak di inginkan.

Sebenarnya, kabul pemuda yang baik. Penurut pada orang tua. Ketika datang, ia lekas menyalami dan mencium punggung tangan keriput milik dua orang yang melahirkannya. Hanya saja, ia lelaki yang sangat kesepian. Sebab keterbelakangan mental, menjadi seorang gagu, selalu saja ia menjadi bahan ejekan banyak orang, lebih - lebih teman seumurannya. Bagi Kabul, daripada sakit hati, mending menyendiri. Itu kenapa, belakangan ini ia sering mendatangi hutansambil membawa rebana, alat musik paling digemarinya. Sendirian. Menghabiskan berjam – jam di sana. Laiknya orang bekerja, berangkat pagi pulang menjelang petang. Orang mana yang tak mengkhawatirkannya?!
Melihat diri anaknya tak kurang sesuatu apapun, perasaan sangat khawatir sejak kemarin berangsur – angsur lenyap. Malah, kabul tampak bahagia. Wajahnya sumringah seperti orang habis menang lotre.
Mendadak ia ingat sebagian tetangga mulai  berkomentar :
“Sumi, anakmu itu aneh. Tak mau bergaul dengan yang lain. Malah suka menyendiri di tengah hutan. Kau tahukan di sana banyak jin, genderuwo, wewe ...”
“Iya. Apa kau tak takut anakmu di culik nanti? Atau kerasukan?”
“Apa mungkin sudah berteman...?”
Sumi tak dapat mengelak dugaan sahabat – sahabat dekatnya. Dadanya sesak melihat kenyataan ini. Tak wajar memang, tempat rerimbunan bambu yang gelap dan angker, lokasi bangsa lelembut beranak - pinak, tak ada orang berlalu lalang di sana, menjadi tempat persinggahan favorit anak pertamanya.
“Sudah sinting bocah itu. Tak boleh di diamkan.” Hatinya bergumam.
Maka interogasi di mulai usai shalat maghrib, setelah anaknya makan. Barangkali, sebagaimana pepatah, perut kenyang dapat menjernihkan pikiran seseorang.
“Kabul, katakan dengan benar, dari mana saja kau?”
Pertanyaan pertama di jawab dengan kebisuan. Kabul belum mau angkat suara.
“Emak tahu kau ke hutan itu lagi kan?! Apa yang kau perbuat di sana?”
“Mmmaaiinn rererebbbaannaa”
“Main rebana kan bisa di rumah saja. Atau di surau sana. Kan lebih dekat tempatnya. Kau tau kan di sana banyak jin, setan, dedemit . Apalagi sampai lima hari. Makan apa kau? Kemenyan? Daun bambu?”
Sebenarnya Sumi sangat marah bercampur khawatir pada anaknya. Namun, sebisa mungkin ia tahan. Barangkali, dengan cara kelembutan dapat mencerahkan pikiran anaknya.
Tapi Kabul diam seribu bahasa. Seperti ingin benar – benar menjaga rahasia.
“Dengan siapa di sana?”
Terdakwa tertunduk lesu. Entah apa yang ada dalam pikirannnya. Putus asa kah? Marah? Atau menderita? Sementara tiga orang dihadapannya memandang muak dan menunggu  kalimat darinya.
Serupa dengan istrinya, lelaki tua itu ingin sekali menghukum keras anaknya satu ini. Tapi, rasanya tak pantas. Sudah dewasa! Atau didiamkan dan tak ada tindakan dan peringatan keras. Itu pun salah. Dilema.
Tak lama berselang, kepala Kabul mendongak. Mulutnya perlahan terbuka dan berusaha keras berbicara. Enam pasang mata terkejut. Dipasang lebar – lebar pendengaran mereka.
“Baapppaa, mmaaa, ssssayaa mmmaau nnniiikah.”
Suami – istri itu berpandangan. Disusul gelengan kepala. Seperti mendengar berita aneh dari luar angkasa.
Interogasi belum usai, Kabul bangkit, lantas berbalik dan berlari ke luar rumah. Secepat kijang diburu harimau. Menerabas gelapnya petang. Menuju perbatasan. Tak dihiraukan suara teriakan memanggil – manggil namanya di belakang.
Yah! Ia ingin tenang. Dan disanalah ia dapat ketenangan.
***
Desa Tugu geger dengan berita minggatnya Kabul dari rumah. Orang tuanya dibuat bingung dan kesal. Malah mereka was – was kalau – kalau anaknya menikah dengan bukan bangsa manusia, tapi jin. Celakanya, dukun, Kiai dan orang pintar lainnya yang di bayar untuk mencarinya gagal menemukannya. Bisa jadi ilmu mereka  belum mampu menembus tirai gaib kerajaan jin menyembunyikan kabul. Ada pula versi lain yang bengabarkan Kabul bunuh diri di hutan karena frustasi dan bangkainya di makan ular atau binatang buas lainnya. Tetua kampung mengingatkan agar orang tua menjaga baik – baik keluarganya dan supaya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahakuasa.
“Dasar setan terkutuk! Kerjanya mengganggu manusia.” Sumpah serapah itu berkali-kali terlontar nyaring dari mulut keriput orang tua itu. Lagi – lagi sesak dadanya melihat kenyataan ini. Dan lagi-lagi tak membawa perubahan apa-apa pada diri dan keluarganya.
Sepuluh hari berikutnya, di tengah malam buta, saat mereka lelap tertidur, rumahnya diketuk orang berkali-kali. Membuat suami-istri itu terjaga.
Siapa tengah malam begini bertamu? Tak ada waktu lainkah?
Karena suaminya malas keluar kamar, terpaksa Sumi yang membuka pintu depan rumahnya. Sambil terkantuk-kantuk berjalan ke sana.
“Bapak, cepat ke sini!”
“Ada apa?”
“Kabul.”
Deggg!
Lelaki sepuh itu terlonjak. Dan seperti ada kebakaran, lekas bergegas keluar kamar.
Ia terkejut tak kepalang. Seperti melihat hantu kepala buntung. Dilihatnya di muka pintu anak lelakinya tersenyum memandangnya. Membawa gadis cantik jelita, bahkan lebih cantik dari gadis manapun yang pernah dijumpainya, seumur hidupnya. Mulutnya perlahan terbuka. Namun, tak ada kata-kata. semuanya terperangkap di kerongkongan. Sekujur tubuhnya bergetar. Panas dingin. Keringat bercucuran.
“Bbaapaa, Emmaa, Kabul sudah menikah.”
Deggg! Deggg!!
Tak ada gagap.
Telinganya berdiri mendengar suara anaknya yang sangat dikenalnya. Sama seperti ia mengenal bau keringat anaknya.
***
Desa Tugu masih seperti dulu. Terpencil dan sepi. Apalagi ketika malam datang. Sunyi senyap. Hanya kawanan jangkrik bernyanyi dibalik semak-semak belukar dan kepak kelelawar menepis angin malam. Menurut berita yang beredar, Kabul tak pernah pulang menemui orang tuanya. Kecuali dua kali sebelum keduanya meninggal dunia. Pemuda itu sudah punya rumah. Dan keluarga. Di tengah hutan bambu di perbatasan. Di tengah dunianya yang berbeda. Mungkin kamu tidak percaya. Coba datanglah ke desa sunyi itu. Hampir setiap tengah malam, terdengar nyaring alunan tabuhan rebana jauh dari dalam hutan. Masyarakat mengatakan, Kabul, anak dari pak Slamet dan ibu Sumi yang sedang memainkannya. Hingga kini. Dan entah sampai kapan.***

No comments:

Post a Comment