Thursday, November 19, 2015

CERPEN



KEMARAU PANJANG


 
Saat ini awan hitam pekat menyelubungi kampungku dari ketinggian. Banyak warga memprediksikan bakal akan turun hujan setelah sekian lama kemarau panjang menimpa. Melihat gejala alam demikian senyumnya merekah. Secercah harapan yang sekian lama hangus oleh teriknya matahari mendadak muncul, memukul – mukul dadanya. Melihat mendung semakin tebal, senyumnya kian melebar, seperti ketika ia menerima segepok uang saat menjual hasil panen padinya tahun lalu. Ia bersama tiga sahabat, senasib dan seperjuangan itu terus memperhatikan cuaca sore di gubuk kecil dekat  galangan sawah yang kering dan retak – retak. Wajah putus asa menghadapi kemarau tahun ini untuk kesekian kalinya berubah.
“Aku yakin, musim hujan sebentar lagi tiba.” Ucap Ucup tanpa menoleh kepada lawan bicaranya. Pandangannya terpaku di angkasa.
“Kemarin juga mendung. Tapi malamnya tidak juga datang hujan.” Kirno menimpali.
“Gerimis pun tak turun.” Imbuh Yasin.
Arman yang hanya duduk mendengarkan terpengaruh dengan kalimat mereka. Benar juga! Sudah dua kali mendung datang tapi nyatanya tidak juga menurunkan hujan. Dirasakannya kemarau tahun ini lebih lama dari yang sudah - sudah. Membuatnya bertambah resah.
Langit bergemuruh tiba -tiba, nyaring, seperti tertawa, seakan mengolok – olok mereka. Entah datang dari sudut mana, batinnya berkecamuk.
Apakah kali ini Tuhan mau berbaik hati pada kami? Tanyanya dalam hati.
Atau kembali menguji hamba-Nya?
Tak ada jawaban. Ketika melihat daun – daun tanamannya yang kuning karena kekurangan air itu, dihelanya nafas panjang. Hanya bisa pasrah. Namun, jauh di lubuk hatinya yang dalam, ia –dan ketiga kawannya –merasa sangat khawatir kalau – kalau tahun ini akan gagal panen. Kepalanya pening memikirkan banyak hutang karena harga sembako terus saja mengalami kenaikan. Sementara dirinya sebagai petani biasa hanya mengandalkan lahan sawah ukuran 9 x 11 meter yang di tanaminya benih padi tiga bulan lalu. Kalau sampai kemarau ini masih berkepanjangan, ia tak tahu harus bagaimana menafkahi keluarganya. Seorang tamatan SD seperti dirinya memang tak bisa diandalkan untuk mencari penghidupan di luar sana. Karena ijazah, ilmu dan pengalaman tak dimilikinya. Sejak dahulu, hanya sejengkal tanah ini yang terus menghidupinya dan keluarganya hingga kini.
“Tak biasanya kemarau tahun ini. Sungai yang biasanya tak habis airnya itu,” Telunjuknya menunjuk parit panjang membelah area persawahan “Menjadi kering kerontang!”
Akhirnya Arman angkat suara. Sedikit melepaskan beban dibenaknya.
“Negri kita juga mengalami tantangan serius ...” Tambah Ucup. “Kau lihat di TV kan. Berita pagi, siang, sore, malam, semuanya serba memprihatinkan.”
Arman manggut – manggut setuju.
Grrrrrhhh!
Petir kembali menggelegar di ketinggian. Sebelah barat daya awan hitam terus merayap, seperti ingin menguasai cakrawala. Ke empat petani miskin itu mendongak, menatap langit dengan hati penuh harap.
“Sepertinya akan turun hujan malam nanti.”
“Semoga saja begitu.” Katanya demi mendengar ucapan Yasin. Karena ia tahu, Tuhan Mahapemurah.
***
Siang menjelang senja Arman kembali merapat di tempat yang sama. Hanya saja tidak bersama ketiga kawannya. Mukanya lusuh seperti pakaian yang dikenakannya. Ada keputus asaan tergambar di sana karena malam tadi hujan yang begitu diharapkan tak kunjung datang jua. Untuk tahun ini ia kwalahan mencari air di tanah kelahirannya yang –kata banyak orang –subur dan makmur itu. Zaman ayah-ibu dan kakek-nenek mereka memang sejahtera. Bahkan saking suburnya, hasil sawah melimpah ruah hingga bisa dirasakan desa – desa tetangga yang kekurangan. Tapi kali ini musim paceklik terasa dekat dan begitu lama berada di sisinya. lelaki setengah baya itu termenung sejenak. Pikirannya menjangkau – jangkau sesuatu.
Adakah yang salah? Apakah Tuhan murka dengan watak orang – orang desanya yang mulai berubah, acuh dan serakah?
Ia menyadari pribadi desanya perlahan sirna. Ajaran dari orang tua dulu tak berbekas lagi untuk orang zaman sekarang. Mereka lebih menyukai kehidupan bebas tanpa norma - norma. Buktinya, tenggang rasa, sopan santun anak muda, gotong royong dan solidaritas antar sesama, bahkan budaya tegur dan sapa telah jarang dipandangan mata. Budaya leluhurnya terus terkikis seiring perkembangan zaman.
Lelaki kekar berkulit hitam legam khas petani itu melayangkan pandang menjelajah cakrawala. Sorot matanya jauh menerawang. Seiring desir angin mengelus – elus tubuhnya, serta merta pikirannya melayang - layang jauh, melintasi batas waktu. Arman terkenang masa silam, saat ia yang remaja tengah gemar mengaji di surau dekat rumahnya.
“Jika hidup kalian terus saja susah dan menderita, pasti ada yang salah pada dirimu. Maka pandai – pandailah melihat dan menasehati diri, sebelum melihat dan menasehati orang lain,” Kata guru ngajinya suatu ketika dalam majlisnya di hadapan murid - muridnya.
Ia menarik nafas panjang. Terhenyak. Dadanya bergemuruh. Dan tubuhnya gemetar seperti melihat hantu kepala buntung. Ia seperti mendapat ilham. Kepalanya tertunduk. Lalu mengamati deretan padinya yang kuning tertimpa cahaya matahari sore. Melihat sungai kering serta galangan yang retak – retak seperti tumitnya. Sesekali angin sore berhembus pelan menebarkan aroma debu dan kesejukan.
Lantas mendongak. Kumpulan awan hitam persis berada di atas ubun – ubunnya. Cuaca sore ini lagi – lagi seperti kemarin. Sesekali halilintar berteriak, merobek keheningan senja.
“Ya Allah, ...” Hatinya berbisik menjerit.
Ia sadari, telah lama melupakan sapaan itu. Dirinya terlampau lalai oleh urusan dunia yang tanpa ada habisnya.
“Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang hina ini.” Sampai disitu saja kalimat yang terlontar dari mulutnya.
Dadanya kian bergemuruh. Tubuhnya berguncang – guncang menahan gejolak hatinya. Tak lama berselang, gerimis turun. Angin sore semakin kencang berhembus, membawa bulir – bulir air membasahi wajahnya, membersihkan debu di kulitnya. Ini hujan pertama setelah sekian lamanya menunggu. Bibirnya tersenyum, lisannya bersyukur dan ber-istighfar serta hatinya menangis meratapi tumpukan dosa yang diperbuatnya. Ia ingin pulang. Ia insaf dan taubat. Dan ingin mengajak saudara dan temannya agar bersama – sama memperbaiki keadaan diri dan desanya.
Semoga kesulitan ini segera berakhir.
Ia tahu dan yakin, Tuhan Mahapemurah dan Mahapengampun.

Santri--


No comments:

Post a Comment