Untuk Anda yang hobi membaca cerpen, wajib membaca info dan cerpen terbaik ini.
Cerpen
Afrizal Malna (Kompas, 9 Maret 2014)
KALIMAT ini letaknya agak ke kiri, di antara
lipatan udara bergaram, botol kecap, dan daftar menu dengan serakan pasir laut
tertempel pada ”cover”-nya. Lalat memenuhi meja makan, seperti titik-titik
hitam bersayap.
Beberapa
kalimat agak berantakan, ketika aku mencoba menatap Ni Komang Ayu. Hewan kecil
itu kadang bermain di antara rambut Ni Komang yang terurai panjang, seperti
mengukur jarak antara kesunyian dan pikiran-pikirannya.
Tiga orang
dari kota yang berlibur di pulau ini, Nusa Penida (namanya sering disebut
sunfish), tampak seperti makhluk bodoh. Mereka sibuk dengan mobilephone
masing-masing. Ni Komang akan menemani mereka menyelam di beberapa titik di
pulau ini, di Circle Bay, Mangrove. Ia tampak gelisah, seperti menemani
gumpalan daging yang masing-masing sibuk memainkan tombol-tombol cahaya itu.
Aku melompat
dari kalimat seperti di atas. Hampir menjatuhkan botol saus di atas meja makan.
Tiba-tiba angin dari laut bertiup kencang, menerbangkan cerpen ini. Aku
mengejarnya. Angin berbalik ke arah pantai. Telapak kakiku tertusuk-tusuk
bangkai karang laut, terhampar putih sepanjang Pantai Ped. Aku berhasil
menangkap cerpen itu, agak ke kiri, antara seekor anjing putih yang sedang
bermain dengan ombak, dan bentangan rumput laut yang ditanam penduduk di
sepanjang pantai.
Aku kembali
ke meja makan yang penuh lalat itu. Aku duduk agak ke kiri antara banana juice
dan pertanyaan: siapa yang telah menuliskan pikiran Ni Komang tadi dalam cerpen
ini? Aku merasa tidak pernah menuliskannya. Bahkan Ni Komang tidak mengenalku.
Tetapi siapa aku? Aku tidak ingin hadir sebagai misteri dalam cerpen ini.
Tokoh-tokoh yang kutulis dalam cerpen ini tidak tahu kehadiranku. Bagaimana
caranya mengenalkan diriku kepadanya, karena aku dan Ni Komang sama-sama tidak
nyata. Kami berdua sama-sama seorang fiksi.
Kaki Ni
Komang mulai bergoyang-goyang, seperti bisa merasakan mengalirnya kalimat di
atas ke dalam sel-sel darahnya. Kalimat yang seakan bisa merenovasi sel-sel
darahnya. Ia seperti menatapku, tatapan dari seorang laut yang ombaknya tidak
pernah terlihat.
Cuaca begitu
cerah setelah hujan semalaman. Ni Komang masih harus menjemput seorang tamu
lagi dari Sanur yang ketinggalan speedboat ke pulau ini. Di Toyapakeh, salah
satu dermaga untuk speedboat, ia berdiri memandangi hamparan laut. Horison yang
dibatasi sebuah pulau kecil, Ceningan, di depannya. Membentang seperti garis
berkontur dengan bayangan Gunung Agung di belakangnya. Gelombang kabut selalu
memperbarui kehadiran gunung itu. Kabut dan laut adalah cermin bergelombang
yang memantulkan ilusi tentang cahaya. Itu yang sering dipikirkannya setiap
memandangi gradasi dari laut maupun kabut.
Speedboat
melaju seperti sebuah titik sedang membelah cermin yang tidak pernah
memantulkan kedalamannya sendiri. Perahu bermesin itu terus menyayat
buncah-buncah air laut yang berhamburan pada dinding-dindingnya. Teknologi yang
rapuh itu sedang meluncur di permukaan laut, membuat titik hitam itu tampak
seperti sebuah kesombongan yang rapuh.
”Selamat
datang di Nusa,” katanya kepada tamu yang dijemputnya.
”Maaf, saya
terlambat,” kata tamu itu. Seorang lelaki berusia sekitar 38 tahun. ”Cisco,”
tamu itu memperkenalkan namanya. Aku menduga nama lengkapnya ”Franscisco”, dari
Perancis. Ia terkesan cukup tahu bagaimana berhadapan dengan orang Indonesia
yang latarnya berbeda-beda.
”Kita masih
punya waktu untuk minum. Speedboat untuk menyelam baru datang jam 12 siang
ini,” ujar Ni Komang. Tamu itu menganggukkan kepala. Membawa tasnya menuju
kendaraan yang akan mengantar mereka ke kafe, di pinggir Pantai Ped. Speedboat
akan menjemput mereka di pinggir pantai itu menuju ke titik penyelaman yang
akan mereka tuju. Biasanya para penyelam menuju ke titik-titik di mana ikan
seperti pari manta yang bentuknya mirip pesawat UFO, atau ikan mola-mola sering
ditemukan.
Nita,
instruktur untuk menyelam, sudah menunggu di kafe. Ni Komang bekerja sebagai
asistennya, mengurus hal-hal yang lebih teknis. Tubuh Nita khas seorang
penyelam. Tatapannya hampir selalu mengirim pesan bahwa ia selalu siap memberi
perhatian. Tetapi aku merasa tatapan itu kadang mirip kandang macan. Dari kandang
itu seekor macan tiba-tiba bisa melompat dan menerkammu. Aku duduk agak ke kiri
antara fins (sepatu bersirip untuk nyelam), dan snorkel untuk bernapas saat
menyelam yang dibawa Nita.
”Kenapa kita
harus menyelam?” Nita mulai menyampaikan beberapa syarat penyelaman yang harus
disepakati bersama empat penyelam dari kota yang harus mereka temani.
Speedboat
mulai melaju dalam ayunan gelombang laut. Belahan-belahan warna biru kelam,
biru kehijauan, putih dari pantulan cahaya menciptakan tema-tema yang selalu
bergantian pada belahan-belahan gelombangnya. Dinding-dinding batu yang
bercelah, putih oleh buih ombak yang menghantam dinding pulau. Seluruh penyelam
sudah mengenakan wet suit, pakaian selam untuk menjaga suhu tubuh dari
dinginnya kedalaman laut.
Dinding-dinding
kesunyian mulai melayang bersama arus lembut di bawah permukaan laut. Jam untuk
menyelam yang melingkar di tangan Ni Komang menunjukkan kedalaman 5 meter,
terus turun hingga 8 meter. Jari-jari tangan dari 6 penyelam tampak
menari-menari, menyampaikan bahasa isyarat dalam penyelaman. Nyawa mereka mulai
bergantung pada snorkel, yang menghubungkan antara napas mereka dan tabung
scuba yang menyimpan persediaan oksigen. Tubuh-tubuh yang telah bertambah
dengan mesin.
Aktivitas
gas dalam tubuh mulai berubah antara tekanan, volume, dan suhu laut. Oksigen,
karbon dioksida, dan gas-gas lainnya mulai diserap lebih banyak oleh para
penyelam untuk bernapas. Lalu lintas gas yang akan mengubah kesadaran mereka ke
batas yang lain: antara keindahan, kelimbungan, dan manipulasi cahaya dalam
laut. Ni Komang mendengar suara detak jantungnya sendiri, merayap, seperti gema
yang memanjati dinding-dinding air. ”Apakah volume itu, apakah ukuran itu,
apakah daya berat itu?” Pikirannya sering bergerak di sekitar pertanyaan ini
setiap menyelam.
Mereka terus
menyelam melampaui waktu 20 menit lebih. Tiba-tiba
salah seorang penyelam, yang sering memisahkan diri dari penyelam lainnya, menendang tanaman karang di dasar laut dengan kakinya. Beberapa tanaman patah dan hancur. Penyelam itu kesal karena sudah 20 menit menyelam, belum juga menemukan ikan pari manta atau mola-mola. Semua penyelam terkejut dengan tindakannya.
salah seorang penyelam, yang sering memisahkan diri dari penyelam lainnya, menendang tanaman karang di dasar laut dengan kakinya. Beberapa tanaman patah dan hancur. Penyelam itu kesal karena sudah 20 menit menyelam, belum juga menemukan ikan pari manta atau mola-mola. Semua penyelam terkejut dengan tindakannya.
Nita
mengejar penyelam itu, menyeretnya naik ke permukaan. Di permukaan laut, macan
dari kandang tatapan mata Nita melompat dan menerkam penyelam itu.
”Hei orang
kota!” bentaknya. ”Elu pikir elu emang siapa?!” Karena kesal, Nita menggunakan
gaya bahasa Jakarta ke penyelam itu. ”Apa elu bisa nyiptain tanaman karang
laut! Elu tau enggak, buat tumbuh 7 cm saja, tiap tanaman karang laut perlu
waktu 1 taon. Kadang enggak cukup. Yang elu lakuin tadi, itu telah ngancurin
waktu berpuluh-puluh taon hanya dalam beberapa detik kehidupan di dasar laut.”
Nita
menyuruh penyelam itu naik ke speedboat. ”Bangsat!”
Malam hari,
para penyelam menginap di hotel mirip asrama calon pastor, di Toyapakeh. Cisco
menginap di rumah penduduk. Milik pamannya Ni Komang, I Gede Wicaksana.
Pamannya banyak bercerita tentang masa kanaknya. Tentang ibunya yang bekerja
membesarkan keluarga sebagai petani rumput laut. Merantau dari Klumpung, desa
kelahirannya, ke Ped. Setiap malam, saat air laut surut, ia turun ke pantai
memanen rumput laut. Menggigil dari dingin laut yang bersarang dalam tubuhnya.
Hari makin
malam. Aku menyelusup masuk ke ”kamar suci” di bale dangin. Sebelah kiri antara
pura keluarga dengan kebun kelapa dan kandang babi. Kamar suci, dalam tradisi
Hindu-Bali, biasanya disediakan untuk orang tua menjelang kematian membawanya
ke alam Mahabutha, alam yang non-material lagi sifatnya. Cerpen yang kutulis
ini, seperti mendapatkan ruang kegelapannya dalam kamar kematian di bale dangin
ini. Kegelapan untuk merenovasi cahaya.
Jam 8 pagi
Gunung Agung berdiri sangat biru. Kami kembali menyelam, kali ini di titik yang
lebih mendebarkan: Ceningan Wall, para penyelam menyebutnya. Pulau Ceningan
hanya beberapa ratus meter di depan Nusa Penida, berdiri seperti taring batu
yang menjulang dari dasar laut.
Kami
menyelam sudah lebih 20 meter. Cahaya matahari merayap kian tipis. Kami mulai
menggunakan senter, sementara dasar laut masih belum tampak. Ada seorang yang
menyelam sampai 60 meter, dan dasarnya tetap masih belum terlihat. Maha
kegelapan terbentang di bawah sana. Adakah proses pembentukan mikro biologi
lain di bawah sana? Adakah semesta lain di dasar kegelapan laut?
Dunia visual
dalam laut menghasilkan efek suara, seperti datang dari tulang belakang
kepalaku. Suara itu menggali timbunan memoriku. Pantulan cahaya di antara
lendir-lendir yang melapisi tubuh berbagai jenis ikan, berbagai warna yang
menghiasi Ceningan Wall, seperti saling merajut dan melebarkan kembali vibrasi
suara-suara itu.
Pada momen
ini, aku seperti mendengar lagi tembang doa-doa Hindu-Bali. Mengolah gas-gas
non-material dalam jiwaku. Aku ingin menyebutnya sebagai gas-gas spiritual dan
estetik. Nyanyian itu membuat lingkaran gema yang menutup batas akhir dari
kemampuanku menjangkau sesuatu. Lalu sesajen-sesajen dipersembahkan, seperti
sebuah konservasi teologis untuk keliaran manusia dalam menembus hal-hal yang
tidak bisa dijangkaunya.
Ada jarak
sangat tipis, sekitar 2 meter, antara mataku dan laut. Jarak itu dipisahkan
kaca google untuk melindungi mataku dari iritasi air laut. Jarak itulah yang
membuat kehidupan di dalam laut menjadi fiksi baru tentang ukuran dan cahaya.
Semua yang kulihat dari balik kaca google itu membesar dua kali lipat dan lebih
dekat setengah kali lipat.
Perubahan
gelembung gas dalam paru-paru dan otakku semakin membesar. Aku merasa kian
melayang, mabuk. Ceningan Wall tiba-tiba berubah seperti monitor raksasa, menayangkan
kehidupan kota. Tembang-tembang Hindu-Bali juga berubah kian riuh, bercampur
berbagai bahasa asing dan mata uang asing. Monitor raksasa itu tiba-tiba runtuh
ke dasar kegelapan mahabutha.
Lalu
semuanya kembali hening. Keheningan yang seakan bisa kugenggam. Aku mulai
melepas regulator dan selang snorkelku untuk bernapas, melepas tabung scuba
dari punggungku. Kulihat tabung itu melayang, melepaskan gelembung-gelembung
udara, terus turun ke dalam kegelapan mahabutha. Dan aku?
Aku sudah
bukan aku lagi tanpa mesin bernapas itu.
Esok pagi,
Ni Komang masuk ke kamar suci di bale dangin. Membersihkannya. Ia menemukan
buku kumpulan cerpen August Strindberg dalam kamar itu, Cerita dari Stockholm,
terjemahan Stefan Danerek. Ia heran, siapa yang telah meninggalkan buku ini di
kamar suci? Nusa Penida tidak memiliki toko buku untuk mendapatkan Strindberg.
Ia mencoba membaca bagian awal buku ini: Cerpen tentang seseorang yang tidak
memiliki aku. Karena, sejak kecil ia dibesarkan ibunya untuk tidak memiliki
keinginan. Cerita yang ditulis Strindberg hampir 200 tahun yang lalu.
Ni Komang
kemudian menutup buku itu. Ia seperti merasakan ada napas dan bau seseorang
yang membaca dalam kamar suci itu.
Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com
/ http://print.kompas.com
No comments:
Post a Comment